Fatwa Ulama Seputar Puasa Ramadhan
Ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya : Apa hukum orang yang berpuasa namun meninggalkan shalat?
Jawab: Puasa
yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan shalat tidaklah diterima
karena orang yang meninggalkan shalat telah melakukan bentuk kekafiran
dan kemurtadan. Dalil bahwa meninggalkan shalat termasuk bentuk
kekafiran adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), ”Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS. At Taubah [9] : 11). Alasan lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 82)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat yang mengatakan bahwa
meninggalkan shalat merupakan suatu kekafiran adalah pendapat mayoritas
sahabat Nabi bahkan dapat dikatakan pendapat tersebut adalah ijma’
(kesepakatan) para sahabat. ‘Abdullah bin Syaqiq –rahimahullah- (seorang tabi’in yang sudah masyhur) mengatakan, “Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah pernah menganggap suatu amalan yang apabila seseorang
meninggalkannya akan menyebabkan dia kafir selain perkara shalat.”
(Sanad riwayat ini shahih. Lihat Ats Tsamar Al Mustathob, hal. 52, -pen]
Oleh karena itu, apabila seseorang
berpuasa namun dia meninggalkan shalat, puasa yang dia lakukan tidaklah
sah (tidak diterima). Amalan puasanya pun tidaklah bermanfaat pada hari
kiamat nanti.
Oleh sebab itu, kami katakan, “Shalatlah kemudian tunaikanlah puasa”.
Adapun jika engkau puasa namun tidak shalat, amalan puasamu akan
tertolak karena orang kafir (karena sebab meninggalkan shalat) tidak
diterima ibadah dari dirinya. [Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 17/62]
Hanya Shalat dan Puasa di Bulan Ramadhan Saja
Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhuts Ilmiyyah wal Ifta’
(Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya: Apabila seseorang hanya
di bulan Ramadhan saja semangat melakukan puasa dan shalat, namun
setelah Ramadhan berakhir dia meninggalkan shalat, apakah puasanya di
bulan Ramadhan diterima?
Jawab: Shalat merupakan
salah satu rukun Islam. Shalat merupakan rukun Islam terpenting setelah
dua kalimat syahadat. Dan hukum shalat adalah wajib bagi setiap
individu. Barangsiapa meninggalkan shalat karena menentang kewajibannya
atau meninggalkannya karena menganggap remeh dan malas-malasan, maka dia
telah kafir. Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan dan mengerjakan
shalat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti ini berarti
telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan),
“Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, -pen)
hanya pada bulan Ramadhan saja.”
Oleh karena itu, tidak sah puasa
seseorang yang tidak melaksanakan shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan
orang seperti ini (yang meninggalkan shalat) dinilai kafir dan telah
melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban
shalat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama
yang paling kuat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dari Buraidah Al Aslamiy)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Inti (pokok) segala perkara adalah Islam, tiangnya (penopangnya) adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad shahih dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu). Juga beliau bersabda, “Pembatas antara seorang muslim dengan kekafiran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Al Anshoriy). Dan banyak hadits yang semakna dengan hadits-hadits di atas. Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam. [Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ke-3, Fatawa no. 102, 10/139-141]
[Tambahan penyusun: Setelah kita
menyimak tulisan di atas, sudah selayaknya seorang muslim menjaga amalan
shalat agar amalan lainnnya pun menjadi teranggap dan bernilai di sisi
Allah. Kadar Islam seseorang akan dinilai dari penjagaan dirinya
terhadap shalat. Imam Ahmad –rahimahullah- mengatakan, “Setiap
orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama.
Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya
terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam
Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu.
Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau
menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar
Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“ (Lihat Ash Sholah, hal. 12).
Oleh karena itu, sudah saatnya seorang hamba yang sering melalaikan shalat untuk bertaubat
sebenar-benarnya dengan ikhlas karen Allah, menyesali dosa yang telah
dia lakukan, kembali rutin mengerjakan shalat dan bertekad untuk tidak
meninggalkannya lagi. Semoga Allah memudahkan kita dalam melakukan
ketaatan kepada-Nya dan menerima setiap taubat kita. Amin Yaa Mujibas Sa’ilin.]
Saatnya Meninggalkan Rokok di Bulan Ramadhan
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah
ditanya: Sebagian orang yang berpuasa yang gemar merokok meyakini bahwa
mengisap rokok di bulan Ramadhan bukanlah pembatal puasa karena rokok
bukan termasuk makan dan minum. Bagaimana pendapat Syaikh yang mulia
tentang masalah ini?
Jawab: Menurutku, ini adalah pernyataan yang tidak ada usulnya sama sekali. Bahkan sebenarnya rokok termasuk minum (syariba). (Dalam bahasa Arab) mengisap rokok disebut syariba ad dukhon. Jadi mengisap rokok disebut dengan minum (syariba).
Kemudian juga, asap rokok –tanpa
diragukan lagi- masuk hingga dalam perut atau dalam tubuh. Dan segala
sesuatu yang masuk dalam perut dan dalam tubuh termasuk pembatal puasa,
baik yang masuk adalah sesuatu yang bermanfaat atau yang mendatangkan
bahaya. Misalnya seseorang menelan manik-manik, besi atau selainnya
(dengan sengaja), maka puasanya batal. Oleh karena itu, tidak
disyaratkan sebagai pembatal puasa adalah memakan atau meminum sesuatu
yang bermanfaat. Segala sesuatu yang masuk ke dalam tubuh dianggap
sebagai makanan dan minuman.
Mereka meyakini bahkan mengenal bahwa mengisap rokok itu disebut (dalam bahasa Arab) syariba (yang
artinya = minum), namun mereka tidak menyatakan bahwa rokok adalah
pembatal puasa. Sama saja kita katakan bahwa ini jumlahnya satu, namun
dia menganggap mustahil ini jumlahnya satu. Jadi, orang ini ada
kesombongan dalam dirinya.
Kemudian berkaitan dengan bulan
Ramadhan, ini adalah waktu yang tepat bagi orang yang memiliki tekad
yang kuat untuk meninggalkan rokok yang sudah diketahui kejelekannya dan
bisa mendatangkan bahaya. Waktu ini adalah kesempatan yang baik untuk
meninggalkan rokok karena sepanjang siang seseorang harus menahan diri
dari hal tersebut. Sedangkan di malam hari, dia bisa menghibur diri
dengan hal-hal yang mubah seperti makan, minum, jalan-jalan ke masjid
atau berkunjung ke majelis orang sholih. Untuk meninggalkan kebiasaan
merokok, seseorang juga hendaknya menjauhkan diri dari para pecandu
rokok yang bisa mempengaruhi dia untuk merokok lagi.
Apabila seorang pecandu rokok setelah
sebulan penuh meninggalkan rokoknya (karena moment puasa yang dia
lalui), ini bisa menjadi penolong terbesar baginya untuk meninggalkan
kebiasaan rokok selamanya, dia bisa meninggalkan rokok tersebut di sisa
umurnya. Bulan Ramadhan inilah kesempatan yang baik. Waktu ini janganlah
sampai dilewatkan oleh pecandu rokok untuk meninggalkan kebiasaan
rokoknya selamanya. [Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, 17/148]
Masih Bolehnya Makan dan Minum Ketika Waktu Imsak
Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad Da-imah
(komisi fatwa di Saudi Arabia)- pernah ditanya: Beberapa organisasi dan
yayasan membagi-bagikan Jadwal Imsakiyah di bulan Ramadhan yang penuh
berkah ini. Jadwal ini khusus berisi waktu-waktu shalat. Namun dalam
jadwal tersebut ditetapkan bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan
dan minum, -pen) adalah 15 menit sebelum adzan shubuh. Apakah seperti
ini memiliki dasar dalam ajaran Islam?
Jawab: Saya tidak
mengetahui adanya dalil tentang penetapan waktu imsak 15 menit sebelum
adzan shubuh. Bahkan yang sesuai dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah,
imsak (yaitu menahan diri dari makan dan minum, -pen) adalah mulai
terbitnya fajar (masuknya waktu shubuh). Dasarnya firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al Baqarah: 187)
Juga dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Fajar
ada dua macam: [Pertama] fajar diharamkan untuk makan dan dihalalkan
untuk shalat (yaitu fajar shodiq, fajar masuknya waktu shubuh, -pen) dan
[Kedua] fajar yang diharamkan untuk shalat shubuh dan dihalalkan untuk
makan (yaitu fajar kadzib, fajar yang muncul sebelum fajar shodiq,
-pen).” (Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim mengeluarkan hadits ini dan keduanya menshahihkannya)
Dasarnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bilal biasa mengumandangkan adzan di malam hari. Makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.”
(HR. Bukhari no. 623 dan Muslim no. 1092). Seorang periwayat hadits ini
mengatakan bahwa Ibnu Ummi Maktum adalah seorang yang buta dan beliau
tidaklah mengumandangkan adzan sampai ada yang memberitahukan padanya
“Waktu shubuh telah tiba, waktu shubuh telah tiba.” Hanya Allah lah yang
memberi taufik. [Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/281-282, Mawqi’ Al Ifta’]
(Di Susun oleh Devisi Pendidikan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar