IRMAS SELALU DI HATI

Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)

Kamis, 30 Mei 2013

Daya Juang Islami Dalam Dakwah

      Daya juang islami dalam dakwah merupakan upaya secara maksimal yang dilakukan oleh seseorang meliputi pengorbanan di jalan dakwah.Pengorbanan sering diistilahkan dengan sebutan tadhiyah, tadhiyah fii dakwah yakni pengorbanan seorang aktivis dakwah untuk dakwah itu sendiri. Mengapa seseorang perlu berkorban? Pengorbanan merupakan sunnatullah dalam perjuangan. Tidak ada kemenangan tanpa perjuangan dan tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Untuk mencapai suatu tujuan yang sukses dari sebuah upaya perjuangan, maka pengorbanan merupakan suatu hal yang wajib.
      Bila seorang yang ikut berdakwah tidak memiliki daya juang islami yang besar, maka alamat lah ia akan terpental dari jalan dakwah tersebut. Demikian juga mereka yang berkorban hanya setengah-setengah, biasanya mereka akan merasa letih, kehabisan energi bergerak, merasa dirugikan dan sebagainya. Sehingga pada akhirnya mereka akan mundur dari barisan dakwah. Daya juang islami meliputi tadhiyah atau pengorbanan harus dilakukan secara totalitas sehingga kita akan merasakan nikmatnya sebuah pengorbanan. Pengorbanan akan indah jika dilakukan secara total dan dinikmati dengan nyaman. 

Pengorbanan yang harus dilakukan oleh seorang aktivis dakwah secara total diantaranya meliputi tiga aspek sebagai berikut:

1. Pengorbanan harta
Perjuangan dakwah mutlak membutuhkan pengorbanan harta untuk kesuksesan dakwah itu sendiri. Semua kegiatan dakwah membutuhkan harta benda dan materil, sehingga apabila seorang aktivis dakwah enggan berkorban harta untuk kegiatan dakwahnya, maka ia akan selalu merasa dirugikan.
Setelah merasa rugi, lama kelamaan orang ini akan merasa malas meneruskan perjuangan dakwahnya. Maka pada akhirnya ia akan gugur dari jalan dakwah dan digantikan oleh generasi yang lebih baik dari dirinya.

2. Pengorbanan waktu
Daya juang islami seseorang juga bisa dilihat dari seberapa besar waktu yang ia miliki, ia gunakan untuk berbagai kegiatan dakwah. Seorang yang mengaku berdakwah akan dituntut pengorbanan waktunya. Waktu istirahat, waktu untuk keluarga, waktu bekerja dan sebagainya harus dikorbankan untuk kepentingan dakwah. 

3. Pengorbanan jiwa
Pengorbanan terbesar seorang aktivis dakwah adalah saat ia mempersembahkan dirinya untuk dakwah. Syahid menjadi pilihan seorang aktivis dakwah yang benar-benar memiliki keimanan yang kuat kepada Allah dan rasul Nya.
Keyakinan bahwa kesyahidan tersebut dibalas oleh Allah SWT dengan syurga beserta bidadari-bidadarinya menghujam dalam jiwa. Tak ada lagi yang mampu menghalangi seorang yang telah yakin dengan janji-janji Rabb-nya.
Daya juang islami harus dilakukan dengan ikhlas, sebab jika tidak maka yang dilakukan tidak akan mendapatkan pahala apa-apa di sisi Allah SWT.
Banyak orang yang tampaknya melakukan amalan-amalan besar, namun setelah dihitung, amalan tersebut tidak ada nilainya.
Sebaliknya, seseorang yang tampaknya melakukan amalan-amalan sederhana, namun dibekali dengan rasa ikhlas yang kuat dalam menjalankannya, amalan kecil tersebut mampu mengantarkannya menjadi penghuni syurga.
Akan tetapi ini bukan lah suatu pembenaran untuk seseorang melakukan amalan-amalan kecil saja. Hal terbaik tentunya adalah melakukan hal-hal yang besar dan tetap dilandasi dengan rasa ikhlas dalam menjalankannya.
Sudahkan Anda memiliki daya juang islami yang tangguh? Daya juang islami yang rapuh akan membuat seseorang mudah goyah, mudah dipengaruhi dan akhirnya mundur dari sebuah perjuangan.
Apakah Anda ingin menjadi bagian orang-orang yang tergantikan di dalam dakwah? Sedikit pun Islam tidak akan rugi saat kehilangan orang-orang yang tidak memiliki daya juang yang kuat. Sebaliknya, Islam akan beruntung karena kepergian kita akan digantikan dengan generasi yang lebih baik.



Rayhan Imam

Sabtu, 18 Mei 2013

Hukum shlat sendirian di belakang jama"ah

Bismillah.. ada orang bertanya sama saya tentang mengenai shlat

oleh: Rayhan Imam Irf a'i, S. Kom. I

Assalamu’alaikuum,
Beberapa hari yang lalu, seperti biasa kami melaksanakan shalat Ashar berjamaah di mushalla kantor tempat saya bekerja, kebetulan pada saat itu yang hadir untuk shalat berjamaah hanya enam orang. Sementara satu shaft hanya bisa untuk 4 orang saja, otomatis yang satu jamaah harus di shaft kedua sendirian. Akhirnya satu orang yang di depan harus mundur untuk menemani agar tidak sendirian. Usai melaksanakan shalat Ashar secara berjamaah tersebut, ada salah satu jamaah yang nanya sama saya.
Pertanyaan: Apakah ada hadits atau riwayat dari Rasulullah SAW bahwa tidak boleh ada jamaah yang shalat sendirian di belakang, sehingga harus ditemani oleh jamaah shaft bagian depannya?
Terima kasih atas jawabannya. Syukran. Wassalamu’alaikuum (Sugiharto)
Rayhan Imam
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wa Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah, wa ba’d:
Kasus seperti yang Anda alami, biasanya ada dua keadaan.
Pertama, shalat sendiri di belakang shaf namun shaf di depannya masih ada celah kosong, artinya dia masih bisa bergabung dengan shaf tersebut.
Kedua, shalat sendiri di belakang shaf karena shaf di depannya memang sudah full baik kanan mau pun kirinya. Sehingga dia terpaksa sendiri di belakang shaf.
Kita bahas satu persatu ….
Pertama, jika seseorang shalat sendiri di belakang shaf yang ada, padahal masih ada celah kosong baginya, maka telah terjadi perbedaan pendapat para fuqaha (ahli fiqih).
Berkata Imam Asy-Syaukani Rahimahullah:
وَقَدْ اخْتَلَفَ السَّلَف فِي صَلَاة الْمَأْمُوم خَلْف الصَّفّ وَحْده ، فَقَالَتْ طَائِفَة: لَا يَجُوز وَلَا يَصِحّ وَمِمَّنْ قَالَ بِذَلِكَ النَّخَعِيّ وَالْحَسَنُ بْنُ صَالِحٍ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَحَمَّادٌ وَابْنُ أَبِي لَيْلَى وَوَكِيعٌ ، وَأَجَازَ ذَلِكَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَمَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَصْحَاب الرَّأْي .وَفَرَّقَ آخَرُونَ فِي ذَلِكَ فَرَأَوْا عَلَى الرَّجُل الْإِعَادَة دُون الْمَرْأَة

“Para Ulama Salaf telah berbeda pendapat tentang seorang makmum yang shalat sendiri di belakang shaf. Sebagian mengatakan: “Tidak boleh dan tidak sah, “ yaitu pendapat An Nakha’i, Al Hasan bin Shalih, Ahmad, Ishaq, Hammad, Ibnu Abi Laila, dan Waki’. Sedangkan yang mengatakan boleh adalah Hasan Al-Bashri, Al-Auza’i, Malik, Syafi’i, dan Ash-habur Ra’yi (Abu Hanifah dan pengikutnya). Sedangkan sekelompok lainnya mengatakan, laki-laki harus mengulangi shalatnya, sedangkan wanita tidak.” [1]
Mereka yang mengatakan batal beralasan dengan beberapa hadits berikut. Dari Ali bin Syaiban, bahwa Rasulullah SAW melihat seorang shalat sendirian di belakang shaf, lalu Beliau berhenti sampai laki-laki itu selesai shalat. Kemudian Rasulullah SAW bersabda:
اسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ لَا صَلَاةَ لِلَّذِي خَلْفَ الصَّفِّ
“Perbaharui shalatmu, karena tidak ada shalat bagi orang yang sendiri di belakang shaf.”[2]
Diriwayatkan dari Wabishah, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seorang yang shalat sendiri di belakang shaf, Beliau menjawab:
يعيد الصلاة
“Ulangi shalatnya.”[3]
Dari hadits-hadits inilah sebagian ahli fiqih menyatakan tidak sah orang yang shalat sendiri di belakang shaf. Lagi pula hal itu bertentangan dengan jiwa Islam dan maksud shalat berjamaah, yakni kebersamaan.
Berkata Imam Ash-Shan’ani Rahimahullah:
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى بُطْلَانِ صَلَاةِ مَنْ صَلَّى خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ
“Dalam hadits ini, terdapat dalil tentang batalnya orang yang shalat sendiri di belakang shaf.”[4]
Namun jumhur (mayoritas) ulama mengatakan, orang yang shalat sendiri di belakang shaf, adalah SAH, walau masih ada celah kosong baginya, hanya saja itu makruh.. Inilah pandangan tiga imam madzhab, Abu Hanifah,Malik, dan Asy Syafi’i dan para pengikut mereka.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
وأما من صلى منفردا عن الصف فإن الجمهور يري صحة صلاته مع الكراهة.
“Ada pun shalat sendiri di belakang shaf, menurut jumhur (mayoritas) ulama shalatnya sah, hanya saja makruh.”[5]
Dalil yang dijadikan alasan jumhur (mayoritas) ulama adalah hadits Abu Bakrah berikut:
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ
أَنَّهُ انْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ رَاكِعٌ فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ

“Dari Abu Bakrah, bahwa dia masuk ke masjid dan saat itu Nabi SAW sedang ruku. Lalu hal itu dia ceritakan kepada Nabi SAW. Maka Beliau bersabda: “Semoga Allah menambah semangatmu, tetapi jangan diulangi lagi perbuatan tadi.” [6]
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah melanjutkan:
 وتمسك الجمهور بحديث أبي بكرة قالوا لانه أتى ببعض الصلاة خلف الصف ولم يأمره النبي صلى الله عليه وسلم بالاعادة فيحمل الامر بالاعادة على جهة الندب مبالغة في المحافظة على ما هو الاولى. قال الكمان بن الهمام: وحمل أئمتنا حديث وابصة على الندب وحديث علي بن شيبان على نفي الكمال ليوافقا حديث أبي بكرة، إذ ظاهره عدم لزوم الاعادة لعدم أمره بها. ومن حضر ولم يجد سعة في الصف ولا فرجة فقيل: يقف منفردا ويكره له جذب أحد، وقيل يجذب واحدا من الصف عالما بالحكم بعد أن يكبر تكبيرة الاحرام. ويستحب للمجذوب موافقته.

“Pandangan jumhur ulama berpatokan pada hadits Abu Bakrah, mereka mengatakan bahwa Abu Bakrah bergabung dengan sebagian shalat di belakang shaf, dan Nabi SAW tidak memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya. Ada pun perintah untuk mengulangi shalat menunjukkan anjuran saja, dalam rangka menjaga kehati-hatian dan hal-hal yang lebih utama.
Berkata Kamaludin bin Al-Humam: “Para imam kita memaknai hadits dari Wabishah sebagai anjuran (sunah), sedangkan hadits Ali bin Syaiban sebagai pengingkaran atas kesempurnaan shalatnya, demikian ini merupakan jalan untuk mengkompromikan dengan hadits Abu Bakrah, mengingat tak ada keterangan yang tegas untuk mengulanginya karena ketiadaan perintah untuk itu.” [7]
Inilah pendapat yang benar, Insya Allah, shalatnya tetap sah namun makruh, sebab seharusnya dia memenuhi dulu yang masih kosong tersebut.
Kedua, shalat sendiri di belakang karena shaf depan sudah penuh.
Di atas sudah diterangkan bahwa, jumhur ulama menetapkan bahwa hal itu sah, tetapi makruh. Lalu bagaimana jika shaf di depannya sudah penuh? Sebagian ulama ada yang menganjurkan, agar orang tersebut menarik salah seorang jamaah di depannya. Namun, hal ini ditentang oleh ulama lainnya, menurut mereka itu adalah kezhaliman, dan justru memecah belah shaf yang sudah ada.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah melanjutkan:
 ومن حضر ولم يجد سعة في الصف ولا فرجة فقيل: يقف منفردا ويكره له جذب أحد، وقيل يجذب واحدا من الصف عالما بالحكم بعد أن يكبر تكبيرة الاحرام. ويستحب للمجذوب موافقته.
“Barangsiapa yang menghadiri shalat, dan dia tidak menemukan kelapangan dan celah kosong dalam shaf, ada yang mengatakan bahwa dia hendaknya tetap shalat sendiri di belakang dan dimakruhkan untuk menarik orang lain di depannya. Dan ada pula yang mengatakan hendaknya dia menarik seorang yang berilmu dari shaf setelah takbiratul ihram, disukai (sunah) bagi orang yang ditarik ini untuk menemaninya.” [8]
Namun yang lebih kuat adalah dia tidak usah menarik salah seorang jamaah di depannya sebab apa yang dialaminya adalah bukan karena kesalahannya, melainkan karena shaf sudah terlanjur penuh.
Sedangkan perintah untuk menarik seorang dari shaf depan, tidak memiliki dalil yang kuat.
عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إذا انتهى أحدكم إلى الصف وقد تم ، فليجذب إليه رجلا يقيمه إلى جنبه »
“Dari Ibnu Abbas, dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika salah seorang kalian sampai pada shaf yang sudah penuh maka hendaklah menarik seorang dari barisan itu dan menempatkannya di sebelahnya.” [9]
Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada seorang bernama Bisyr bin Ibrahim. Imam Al ‘Uqaili mengatakan: “Dia meriwayatkan dari Al-Auza’i hadits-hadits palsu. “ Imam Ibnu ‘Adi mengatakan: “Bagiku dia termasuk orang yang memalsukan hadits.” Ibnu Hibban mengatakan: diriwayatkan dari Ali bin Harb bahwa dia (Bisyr bin Ibrahim) memalsukan hadits dari orang-orang tepercaya.[10]
Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani tentang orang ini.
وهو ممن كان يضع الحديث كما قال غير واحد من الأئمة وقال الهيثمي: ( هو ضعيف جدا ).
“Dia termasuk deretan para pemalsu hadits sebagaimana yang dikatakan oleh lebih dari satu imam hadits. Berkata Al-Haitsami: “Dia sangat lemah.” [11]
Bahkan Imam Al-Haitsami berkata: “Dia adalah pemalsu hadits.” [12]
Dalam riwayat lain ada seorang laki-laki shalat sendiri di belakang shaf setelah selesai Rasulullah SAW berkata kepadanya:
ألا دخلت في الصف أو جذبت رجلا صلى معك؟! أعد الصلاة
“Kenapa engkau tidak masuk ke dalam shaf atau kau tarik saja seseorang agar shalat bersamamu?! Ulangi shalatmu.”
Syaikh Al-Albani berkata: “Sanad hadits ini lemah juga, dalam sanadnya terdapat Qais yaitu Ibnu Ar Rabi’.” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Orangnya jujur, tetapi hafalannya berubah ketika sudah tua, anaknya memasukkan kepadanya hadits-hadits yang bukan darinya tetapi dianggap darinya.” Demikian pencacatan Al-Hafizh terhadapnya dalam At-Talkhish (125). Saya (Syaikh Al-Albany) berkata: “Yang menjadi cacat hadits ini adalah perawi bernama Yahya bin Abdiwaih dia lebih parah dari Qais, walau Ahmad memujinya namun Yahya bin Ma’in berkata tentangnya: “Pendusta dan laki-laki yang buruk.” Dia berkata lagi tentang Yahya bin Abdiwaih: “Dia bukan apa-apa.” [13]
Bahkan dalam Silsilah Adh Dha’ifah, Syaikh Al Albany mengatakan: Dhaif Jiddan (Sangat lemah), lantaran Qais dia sangat lemah, sedangkan Ibnu Abdiwaih lebih lemah darinya.
Beliau juga berkata:
إذا ثبت ضعف الحديث فلا يصح حينئذ القول بمشروعية جذب الرجل من الصف ليصف معه ، لأنه تشريع بدون نص صحيح ، و هذا لا يجوز ، بل الواجب أن ينضم إلى الصف إذا أمكن و إلا صلى وحده ، و صلاته صحيحة ، لأنه ( لا يكلف الله نفس إلا وسعها )
“Jika telah jelas kedha’ifan hadits tersebut, maka tidak dibenarkan pendapat yang mensyariatkan menarik seseorang di shaf yang ada, untuk menemaninya di belakang, karena pendapat ini tidak dikuatkan oleh dalil yang shahih. Demikian itu tidak boleh, bahkan wajib bagi orang itu jika mungkin untuk bergabung ke dalam shaf, jika tidak bisa gabung maka dia shalat sendiri di belakang, dan shalatnya tetap sah karena “Allah tidak membebani apa-apa yang dia tidak mampu.” [14]
Maka jelaslah kedha’ifan hadits-hadits di atas dan tidak dapat dijadikan sebagai dalil. Wallahu A’lam
[1] Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, 3/220. Cet. 1, 1993M-1413H. Darul Hadits. Mesir.
[2] HR. Ibnu Majah No. 871, 1003, Ahmad No. 16297, Ibnu Abi Syaibah, 2/193, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Aahad wal Matsani No. 1678, Ibnu Khuzaimah No. 593, 667, 872, 1569. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth (Ta’liq Musnad Ahmad No. 16297), Syaikh Al-Albani. (Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 1003)
[3] HR. At Tirmidzi No. 230. Katanya: hasan, Abu Daud No. 682, Ahmad No. 18000, 18004, 18005. Ibnu Hibban No. 2199, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Aahad wal Matsaani No. 1050, dll. Imam Ibnul Mundzir mengatakan: “Hadits ini dinilai kuat oleh Ahmad dan Ishaq.” (Khulashah Al-Ahkam No. 2516). Imam Ibnul Mulqin mengatakan: Imam Ibnu Abdil Bar menyelisihinya, menurutnya hadits ini idhthirab (guncang), dan tidak dikuatkan oleh jamaah.” (Badrul Munir, 4/473). Juga didhaifkan oleh Al-Bazzar. (Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits Al-Hidayah, 1/171). Sementara ulama kontemporer menshahihkannya, seperti Syaikh Syu’aib Al Arnauth. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 18000), Syaikh Al Albani. (Shahih Abi Daud No 683, Al Irwa, 2/328-329)
[4] Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 1/378. Darul Hadits. Tanpa tahun.
[5] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 243-244. Darul Kutub Al-‘Arabiyah, Beirut – Libanon.
[6] HR. Bukhari No. 783
[7] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 244. Darul Kutub Al-Arabiyah, Beirut – Libanon
[8] Ibid
[9] HR. Ath-Thabarani, Mu’jam Al-Awsath, No. 7764
[10] Lisanul Mizan, 2/18, Mizanul I’tidal, 1/311
[11] Syaikh Al-Albany, Irwa’ Al-Ghalil, Juz.2, Hal. 326
[12] Imam Nuruddin ‘Ali bin Abi Bakar al Haitsami, Majma’ uz Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, Juz. 4, Hal. 56. Darul Kutub Al-‘Ilmiyah Beirut-Libanon. 1988M-1408H.
[13] Syaikh Al-Albani, Irwa’ al Ghalil, Juz.2, Hal. 326.
[14] Syaikh Al-Albani, Silsilah Adh Dha’ifah No. 922