Bismillah.. ada orang bertanya sama saya tentang mengenai shlat
oleh: Rayhan Imam Irf a'i, S. Kom. I
Assalamu’alaikuum, Beberapa hari yang lalu, seperti
biasa kami melaksanakan shalat Ashar berjamaah di mushalla kantor tempat
saya bekerja, kebetulan pada saat itu yang hadir untuk shalat berjamaah
hanya enam orang. Sementara satu shaft hanya bisa untuk 4 orang saja,
otomatis yang satu jamaah harus di shaft kedua sendirian. Akhirnya satu
orang yang di depan harus mundur untuk menemani agar tidak sendirian.
Usai melaksanakan shalat Ashar secara berjamaah tersebut, ada salah satu
jamaah yang nanya sama saya.
Pertanyaan: Apakah ada hadits atau
riwayat dari Rasulullah SAW bahwa tidak boleh ada jamaah yang shalat
sendirian di belakang, sehingga harus ditemani oleh jamaah shaft bagian
depannya?
Terima kasih atas jawabannya. Syukran. Wassalamu’alaikuum
(Sugiharto)
|
Rayhan Imam |
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wa Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah, wa ba’d:
Kasus seperti yang Anda alami, biasanya ada dua keadaan.
Pertama,
shalat sendiri di belakang shaf namun shaf di depannya masih ada celah
kosong, artinya dia masih bisa bergabung dengan shaf tersebut.
Kedua, shalat sendiri di belakang shaf karena shaf di depannya memang sudah
full baik kanan mau pun kirinya. Sehingga dia terpaksa sendiri di belakang shaf.
Kita bahas satu persatu ….
Pertama,
jika
seseorang shalat sendiri di belakang shaf yang ada, padahal masih ada
celah kosong baginya, maka telah terjadi perbedaan pendapat para fuqaha
(ahli fiqih).
Berkata Imam Asy-Syaukani
Rahimahullah:
وَقَدْ
اخْتَلَفَ السَّلَف فِي صَلَاة الْمَأْمُوم خَلْف الصَّفّ وَحْده ،
فَقَالَتْ طَائِفَة: لَا يَجُوز وَلَا يَصِحّ وَمِمَّنْ قَالَ بِذَلِكَ
النَّخَعِيّ وَالْحَسَنُ بْنُ صَالِحٍ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَحَمَّادٌ
وَابْنُ أَبِي لَيْلَى وَوَكِيعٌ ، وَأَجَازَ ذَلِكَ الْحَسَنُ
الْبَصْرِيُّ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَمَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَصْحَاب
الرَّأْي .وَفَرَّقَ آخَرُونَ فِي ذَلِكَ فَرَأَوْا عَلَى الرَّجُل
الْإِعَادَة دُون الْمَرْأَة
“Para Ulama Salaf
telah berbeda pendapat tentang seorang makmum yang shalat sendiri di
belakang shaf. Sebagian mengatakan: “Tidak boleh dan tidak sah, “ yaitu
pendapat An Nakha’i, Al Hasan bin Shalih, Ahmad, Ishaq, Hammad, Ibnu Abi
Laila, dan Waki’. Sedangkan yang mengatakan boleh adalah Hasan
Al-Bashri, Al-Auza’i, Malik, Syafi’i, dan
Ash-habur Ra’yi (Abu
Hanifah dan pengikutnya). Sedangkan sekelompok lainnya mengatakan,
laki-laki harus mengulangi shalatnya, sedangkan wanita tidak.”
[1]
Mereka yang mengatakan batal beralasan dengan beberapa hadits berikut. Dari Ali bin Syaiban, bahwa Rasulullah SAW
melihat
seorang shalat sendirian di belakang shaf, lalu Beliau berhenti sampai
laki-laki itu selesai shalat. Kemudian Rasulullah SAW bersabda:
اسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ لَا صَلَاةَ لِلَّذِي خَلْفَ الصَّفِّ
“Perbaharui shalatmu, karena tidak ada shalat bagi orang yang sendiri di belakang shaf.”
[2]
Diriwayatkan dari Wabishah, bahwa Rasulullah
SAW pernah ditanya tentang seorang yang shalat sendiri di belakang shaf, Beliau menjawab:
يعيد الصلاة
“Ulangi shalatnya.”
[3]
Dari
hadits-hadits inilah sebagian ahli fiqih menyatakan tidak sah orang
yang shalat sendiri di belakang shaf. Lagi pula hal itu bertentangan
dengan jiwa Islam dan maksud shalat berjamaah, yakni kebersamaan.
Berkata Imam Ash-Shan’ani
Rahimahullah:
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى بُطْلَانِ صَلَاةِ مَنْ صَلَّى خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ
“Dalam hadits ini, terdapat dalil tentang batalnya orang yang shalat sendiri di belakang shaf.”
[4]
Namun
jumhur (mayoritas) ulama mengatakan, orang yang shalat sendiri di belakang shaf, adalah
SAH,
walau masih ada celah kosong baginya, hanya saja itu makruh.. Inilah
pandangan tiga imam madzhab, Abu Hanifah,Malik, dan Asy Syafi’i dan para
pengikut mereka.
Syaikh Sayyid Sabiq
Rahimahullah berkata:
وأما من صلى منفردا عن الصف فإن الجمهور يري صحة صلاته مع الكراهة.
“Ada pun shalat sendiri di belakang shaf, menurut jumhur (mayoritas) ulama shalatnya sah, hanya saja makruh.”
[5]
Dalil yang dijadikan alasan jumhur (mayoritas) ulama adalah hadits Abu Bakrah berikut:
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ
أَنَّهُ
انْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ
رَاكِعٌ فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ فَذَكَرَ ذَلِكَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ زَادَكَ اللَّهُ
حِرْصًا وَلَا تَعُدْ
“Dari Abu Bakrah, bahwa dia masuk ke masjid dan saat itu Nabi SAW sedang ruku. Lalu hal itu dia ceritakan kepada Nabi
SAW. Maka Beliau bersabda: “Semoga Allah menambah semangatmu, tetapi jangan diulangi lagi perbuatan tadi.”
[6]
Syaikh Sayyid Sabiq
Rahimahullah melanjutkan:
وتمسك
الجمهور بحديث أبي بكرة قالوا لانه أتى ببعض الصلاة خلف الصف ولم يأمره
النبي صلى الله عليه وسلم بالاعادة فيحمل الامر بالاعادة على جهة الندب
مبالغة في المحافظة على ما هو الاولى. قال الكمان بن الهمام:
وحمل أئمتنا حديث وابصة على الندب وحديث علي بن شيبان على نفي الكمال
ليوافقا حديث أبي بكرة، إذ ظاهره عدم لزوم الاعادة لعدم أمره بها. ومن
حضر ولم يجد سعة في الصف ولا فرجة فقيل: يقف منفردا ويكره له جذب أحد،
وقيل يجذب واحدا من الصف عالما بالحكم بعد أن يكبر تكبيرة الاحرام. ويستحب
للمجذوب موافقته.
“Pandangan jumhur
ulama berpatokan pada hadits Abu Bakrah, mereka mengatakan bahwa Abu
Bakrah bergabung dengan sebagian shalat di belakang shaf, dan Nabi
SAW tidak
memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya. Ada pun perintah untuk
mengulangi shalat menunjukkan anjuran saja, dalam rangka menjaga
kehati-hatian dan hal-hal yang lebih utama.
Berkata Kamaludin bin
Al-Humam: “Para imam kita memaknai hadits dari Wabishah sebagai anjuran
(sunah), sedangkan hadits Ali bin Syaiban sebagai pengingkaran atas
kesempurnaan shalatnya, demikian ini merupakan jalan untuk
mengkompromikan dengan hadits Abu Bakrah, mengingat tak ada keterangan
yang tegas untuk mengulanginya karena ketiadaan perintah untuk itu.”
[7]
Inilah
pendapat yang benar, Insya Allah, shalatnya tetap sah namun makruh,
sebab seharusnya dia memenuhi dulu yang masih kosong tersebut.
Kedua, shalat sendiri di belakang karena shaf depan sudah penuh.
Di
atas sudah diterangkan bahwa, jumhur ulama menetapkan bahwa hal itu
sah, tetapi makruh. Lalu bagaimana jika shaf di depannya sudah penuh?
Sebagian ulama ada yang menganjurkan, agar orang tersebut menarik salah
seorang jamaah di depannya. Namun, hal ini ditentang oleh ulama lainnya,
menurut mereka itu adalah kezhaliman, dan justru memecah belah shaf
yang sudah ada.
Syaikh Sayyid Sabiq
Rahimahullah melanjutkan:
ومن
حضر ولم يجد سعة في الصف ولا فرجة فقيل: يقف منفردا ويكره له جذب أحد،
وقيل يجذب واحدا من الصف عالما بالحكم بعد أن يكبر تكبيرة الاحرام. ويستحب
للمجذوب موافقته.
“Barangsiapa yang menghadiri shalat, dan dia
tidak menemukan kelapangan dan celah kosong dalam shaf, ada yang
mengatakan bahwa dia hendaknya tetap shalat sendiri di belakang dan
dimakruhkan untuk menarik orang lain di depannya. Dan ada pula yang
mengatakan hendaknya dia menarik seorang yang berilmu dari shaf setelah
takbiratul ihram, disukai (sunah) bagi orang yang ditarik ini untuk
menemaninya.”
[8]
Namun
yang lebih kuat adalah dia tidak usah menarik salah seorang jamaah di
depannya sebab apa yang dialaminya adalah bukan karena kesalahannya,
melainkan karena shaf sudah terlanjur penuh.
Sedangkan perintah untuk menarik seorang dari shaf depan, tidak memiliki dalil yang kuat.
عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إذا انتهى أحدكم إلى الصف وقد تم ، فليجذب إليه رجلا يقيمه إلى جنبه »
“Dari Ibnu Abbas, dia berkata, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Jika salah seorang kalian sampai pada shaf yang sudah penuh
maka hendaklah menarik seorang dari barisan itu dan menempatkannya di
sebelahnya.”
[9]
Hadits ini
dha’if. Dalam sanadnya ada seorang bernama
Bisyr bin Ibrahim.
Imam Al ‘Uqaili mengatakan: “Dia meriwayatkan dari Al-Auza’i
hadits-hadits palsu. “ Imam Ibnu ‘Adi mengatakan: “Bagiku dia termasuk
orang yang memalsukan hadits.” Ibnu Hibban mengatakan: diriwayatkan dari
Ali bin Harb bahwa dia (Bisyr bin Ibrahim) memalsukan hadits dari
orang-orang tepercaya.
[10]
Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani tentang orang ini.
وهو ممن كان يضع الحديث كما قال غير واحد من الأئمة وقال الهيثمي: ( هو ضعيف جدا ).
“Dia
termasuk deretan para pemalsu hadits sebagaimana yang dikatakan oleh
lebih dari satu imam hadits. Berkata Al-Haitsami: “Dia sangat lemah.”
[11]
Bahkan Imam Al-Haitsami berkata: “Dia adalah pemalsu hadits.”
[12]
Dalam riwayat lain ada seorang laki-laki shalat sendiri di belakang shaf setelah selesai Rasulullah
SAW berkata kepadanya:
ألا دخلت في الصف أو جذبت رجلا صلى معك؟! أعد الصلاة
“Kenapa engkau tidak masuk ke dalam shaf atau kau tarik saja seseorang agar shalat bersamamu?! Ulangi shalatmu.”
Syaikh Al-Albani berkata: “Sanad hadits ini lemah juga, dalam sanadnya terdapat
Qais yaitu
Ibnu Ar Rabi’.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Orangnya jujur, tetapi hafalannya
berubah ketika sudah tua, anaknya memasukkan kepadanya hadits-hadits
yang bukan darinya tetapi dianggap darinya.” Demikian pencacatan
Al-Hafizh terhadapnya dalam
At-Talkhish (125). Saya (Syaikh Al-Albany) berkata: “Yang menjadi cacat hadits ini adalah perawi bernama
Yahya bin Abdiwaih
dia lebih parah dari Qais, walau Ahmad memujinya namun Yahya bin Ma’in
berkata tentangnya: “Pendusta dan laki-laki yang buruk.” Dia berkata
lagi tentang Yahya bin Abdiwaih: “Dia bukan apa-apa.”
[13]
Bahkan dalam
Silsilah Adh Dha’ifah, Syaikh Al Albany mengatakan:
Dhaif Jiddan (Sangat lemah), lantaran Qais dia sangat lemah, sedangkan Ibnu Abdiwaih lebih lemah darinya.
Beliau juga berkata:
إذا
ثبت ضعف الحديث فلا يصح حينئذ القول بمشروعية جذب الرجل من الصف ليصف معه ،
لأنه تشريع بدون نص صحيح ، و هذا لا يجوز ، بل الواجب أن ينضم إلى الصف
إذا أمكن و إلا صلى وحده ، و صلاته صحيحة ، لأنه ( لا يكلف الله نفس إلا
وسعها )
“Jika telah jelas kedha’ifan hadits tersebut, maka
tidak dibenarkan pendapat yang mensyariatkan menarik seseorang di shaf
yang ada, untuk menemaninya di belakang, karena pendapat ini tidak
dikuatkan oleh dalil yang shahih. Demikian itu tidak boleh, bahkan wajib
bagi orang itu jika mungkin untuk bergabung ke dalam shaf, jika tidak
bisa gabung maka dia shalat sendiri di belakang, dan shalatnya tetap sah
karena “Allah tidak membebani apa-apa yang dia tidak mampu.”
[14]
Maka jelaslah ke
dha’ifan hadits-hadits di atas dan tidak dapat dijadikan sebagai dalil.
Wallahu A’lam
[1] Imam Asy-Syaukani,
Nailul Authar, 3/220. Cet. 1, 1993M-1413H. Darul Hadits. Mesir.
[2] HR. Ibnu Majah No. 871, 1003, Ahmad No. 16297, Ibnu Abi Syaibah, 2/193, Ibnu Abi ‘Ashim,
Al-Aahad wal Matsani No. 1678, Ibnu Khuzaimah No. 593, 667, 872, 1569. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth
(Ta’liq Musnad Ahmad No. 16297), Syaikh Al-Albani.
(Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 1003)
[3] HR. At Tirmidzi No. 230. Katanya:
hasan, Abu Daud No. 682, Ahmad No. 18000, 18004, 18005. Ibnu Hibban No. 2199, Ibnu Abi ‘Ashim,
Al-Aahad wal Matsaani No. 1050, dll. Imam Ibnul Mundzir mengatakan: “Hadits ini dinilai kuat oleh Ahmad dan Ishaq.”
(Khulashah Al-Ahkam No. 2516). Imam Ibnul Mulqin mengatakan: Imam Ibnu Abdil Bar menyelisihinya, menurutnya hadits ini
idhthirab (guncang), dan tidak dikuatkan oleh jamaah.”
(Badrul Munir, 4/473). Juga didhaifkan oleh Al-Bazzar.
(Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits Al-Hidayah, 1/171). Sementara ulama kontemporer menshahihkannya, seperti Syaikh Syu’aib Al Arnauth.
(Ta’liq Musnad Ahmad No. 18000), Syaikh Al Albani.
(Shahih Abi Daud No 683, Al Irwa, 2/328-329)
[4] Imam Ash-Shan’ani,
Subulus Salam, 1/378. Darul Hadits. Tanpa tahun.
[5] Syaikh Sayyid Sabiq,
Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 243-244. Darul Kutub Al-‘Arabiyah, Beirut – Libanon.
[7] Syaikh Sayyid Sabiq,
Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 244. Darul Kutub Al-Arabiyah, Beirut – Libanon
[8] Ibid
[9] HR. Ath-Thabarani,
Mu’jam Al-Awsath, No. 7764
[10] Lisanul Mizan, 2/18,
Mizanul I’tidal, 1/311
[11] Syaikh Al-Albany,
Irwa’ Al-Ghalil, Juz.2, Hal. 326
[12] Imam Nuruddin ‘Ali bin Abi Bakar al Haitsami,
Majma’ uz Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, Juz. 4, Hal. 56. Darul Kutub Al-‘Ilmiyah Beirut-Libanon. 1988M-1408H.
[13] Syaikh Al-Albani,
Irwa’ al Ghalil, Juz.2, Hal. 326.
[14] Syaikh Al-Albani,
Silsilah Adh Dha’ifah No. 922