IRMAS SELALU DI HATI

Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)

Rabu, 26 September 2012

Hidup sederhana yes, Hidup berfoya-foya no


Oleh: Rayhan Imam ( Mahasiswa IAIN Raden Fatah Palembang Fakultas Dakwah dan Komunikasi)
Setiap orang pasti menginginkan hidupnya menjadi mulia dan bahagia. Mereka sering berusaha untuk merealisasikan keinginan mereka dengan cara mengamalkan semboyan “hemat pangkal kaya dan bahagia”. Bahakan sejak kelas SD pun mereka sering mendengar dari guru-gurunya dan semboyan tersebut telah akrab dengan dir mereka. Sebenarnya, merupakan nasihat praktis bagi manusia untuk hidup hemat dan sederhana. Dan Di antara hal yang tidak kalah penting agar keberkahan dapat kita wujudkan pada rezeki kita ialah dengan menempuh hidup hemat dan sederhana. Kita membelanjakan harta kekayaan dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, tidak ada sedikitpun dari harta kita yang dibelanjakan dalam hal yang kurang berguna atau sia-sia, apalagi diharamkan.

Kenyataannya semboyan tersebut memang benar adanya. Seseorang yang terbiasa hidup berfoya-foya, lebih dekat dengan jurang kemiskinan, begitu juga sebaliknya. Setiap manusia mempunyai batasan dan ukuran hemat dan sederhanayang berbeda-beda. Oleh karena itu, membiasakan anak untuk hidup hemat dan sederhana sangatlah penting. Kerena nilai kereligiusan itu dekat dengan hemat dan sederhana. Diharapka semboyan tersebut akan tetap terptri dalam hatinya smpai dewasa nanti, bahkan sampai usia lanjut. Lebih baik bersedekah, daripada hidup berlebihan dan kemewahan yang sangat tidak mendidik.

Bila demikian adanya, tidak mengherankan bila Islam telah mengajarkan kepada umatnya metode pembelanjaan harta yang benar. Di antara syariat tersebut ialah dengan menempuh hidup sederhana, jauh dari sifat kikir dan juga jauh dari berlebih-lebihan.
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Qs. al-Furqan: 67).

Al-Qurthuby al-Maliky berkata, “Ada tiga pendapat tentang maksud dari larangan berbuat israf (berlebih-lebihan) dalam membelanjakan harta:
Pendapat pertama: Membelanjakan harta dalam hal yang diharamkan dan ini adalah pendapat Ibnu Abbas.
Pendapat kedua: Tidak membelanjakan dalam jumlah yang banyak, dan ini adalah pendapat Ibrahim an-Nakha’i.
Pendapat ketiga: Mereka tidak larut dalam kenikmatan, bila mereka makan, maka mereka makan sekadarnya, dan dengan agar kuat dalam menjalankan ibadah, dan bila mereka berpakaian, maka sekadar untuk menutup auratnya, sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini adalah pendapat Yazid bin Abi Habib.”

Selanjutnya, al-Qurthuby menimpali ketiga penafsiran ini dengan berkata, “Ketiga penafsiran ini benar, karena membelanjakan dalam hal kemaksiatan adalah diharamkan. Makan dan berpakaian hanya untuk bersenang-senang, dibolehkan, akan tetapi bila dilakukan agar kuat menjalankan ibadah dan menutup aurat, maka itu lebih baik. Oleh karena itu, Allah memuji orang yang melakukan dengan tujuan yang utama, walaupun selainnya adalah dibolehkan, akan tetapi bila ia berlebih-lebihan dapat menjadikannya pailit. Pendek kata, menabungkan sebagian harta itu lebih utama.” (Ahkamul Qur’an oleh al-Qurthuby, 3/452).

Adapun maksud dari “Tidak kikir dalam membelanjakan harta“, maka para ulama tafsir memiliki dua penafsiran:
Penafsiran pertama: Tidak enggan untuk menunaikan kewajiban, misalnya zakat dan lainnya.

Penafsiran kedua: Pembelanjaan harta tersebut tidak menjadikannya terhalangi dari menjalankan ketaatan (Ahkamul Qur’an oleh al-Qurthuby, 3/452), sebagaimana halnya orang yang hanyut dalam berbelanja di mall, sampai lupa untuk mendirikan shalat.

Bila seseorang telah terhindar dari sifat kikir, niscaya ia dapat menunaikan tanggung jawabnya dengan baik. Sebagaimana ia akan senantiasa bergegas dalam berinfak, bersifat dermawan, dan terhindar dari ambisi untuk menguasai harta orang lain (baca Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi, 17/30).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar